Jumat, 29 April 2016

Tokoh penyebar agama Islam



Tokoh-tokoh penyebar agama islam di Indonesia
Tokoh-tokoh penyebar agama islam di Indonesia sangat banyak, seperti: Muhammad Arsyad Al-Banjari, abdur Rauf Singkel, Wali Songo, dan banyak lagi. disini saya akan menulis tentang Muhammad Arsyad Al-Banjari
Muhammad Arsyad Al-Banjari (Datuk Kalampayan) seorang ulama besar yang sangat berpengaruh dan berperan penting di Kalimantan. Beliau banyak menulis kitab agama yang menduduki jabatan mufti kesultanan Banjar.
Beliau lahir di Lok Gabang, Martapura,Kalimantan Selatan pada tahun 1710 M. beliau putra tertua dari Abdullah dan Siti Aminah. Setelah wafat, beliau sering dikenal dengan sebutan “Datuk Kalampayan
Saat usia beliau 7 tahun, Sultan Tahlilullah (1700-1745 M) meminta kepada orang tua Al-Banjari agar mereka bersedia menyerahkannya untuk di didik di istana sekaligus diangkat sebagai anak angkat sultan. Sultan tertarik karena Al-Banjari cerdas dan terampil. Abdullah dan Aminah akhirnya menyerahkan Al-Banjari kepada sultan dan tinggal di istana. Di istana tersebut Al-Banjari menerima pendidikan dari guru-guru yang didatangkan sultan ke istana.
Pada saat Al-Banjari berusia 30 tahun, sultan mengirimnya ke Mekkah untuk menuntut ilmu dengan biaya kerajaan. Sebelum berangkat, Sultan menikahkannya dengan seorang wanita bernama Bajut . hal itu di lakukan sultan agar Al-Banjari tetap kembali ke Banjar setelah menyelesaikan pendidikannya di tanah suci. Beliau menuntut ilmu di tanah suci selama kurang lebih 30 tahun dan memperdalam berbagai cabang ilmu pengetahuan termasuk selain ilmu agama, seperti geografi,biologi,matematika,geometri dan astronomi. Salah seorang guru beliau yang terkenal adalah Syeikh Attailah. Atas izin gurunya, ia diberi izin untuk mengajar dan memberi fatwa di Masjidil Haram. Kemudian, beliau melanjutkan pelajaran di Madinah dengan Imam Haramain,Syeikh al-Islam Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, dan syeikh Abdul Karim as-Samami al-Madani selama lima tahun
 Selama belajar da tanah suci, Al-Banjari berteman akrab dengan Syeikh Abdussamad al-Palimbani dari Palembang, Abdul Wahab Bugis (Sandaring Daeng Bunga Wardiyah) dari Makassar, dan Syeikh Abdurrahman Masri dari Jakarta. Pada mulanya mereka bermaksud melanjutkan studi ke Mesir. Akan tetapi, Syeikh al-Islam Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi menasehati mereka agar kembali ke kampung halaman untuk membina umat. Imam Haramain ini menganggap ilmu mereka sudah cukup dan tidak perlu belajar lagi di Mesir. Di samping itu, tenaga mereka di butuhkan di daerah masing-masing.
Atas nasehat tersebut, keempat sahabat ini krmbali ke Indonesia. Sebelum kembali ke Kalimantan, Al-Banjari bersama Syeikh Abdul Wahab al-Masri tinggal di Jakarta di tempat sahabatnya, Syeikh Abdurrahman Masri, selama beberapa bulan. Di sini, Al-Banjari membetulkan arah kiblat beberapa Masjid, antara lain Masjid Jembatan Lima, Masjid Luar Batang dan Masjid Pekojan. Di mihrab Masjid Jembatan Lima di kecamatan Tambora, Jakarta Pusat terdapat catatan berbahasa Arab bahwa arah Masjid itu di putar ke kanan sekitar 25 derajat oleh Al-Banjari pada 4 Safar 1186 H (7 Mei 1772 M).
Al-Banjari tiba di Martapura pada bulan bulan Ramadhan 1186 H atau Desember 1772 M. sejak saat itu hingga beliau wafat (Kalampayan 6 Syawal 1227 H / 13 Oktober 1812 M) beliau mengabdikan diri membina masyarakat dan mengembangkan islam. Dalam kegiatan ini, beliau di bantu oleh Syeikh Abdul Wahab Bugis yang ketika itu sudah menjadi menantu beliau. Syeikh Abdul Wahab Bugis dinikahkan Al-Banjari dengan putri beliau yang bernama Syarifah di Mekkah tidak lama setelah Al-Banjari menerina surat dari Sultan Banjar bahwa istrinya telah melahirkan anak dan sudah dewasa.
Langkah pertama yang di ambil Al-Banjari setibanya di Martapura ialah membina kader kader ulama, khususnya di lingkungan keluarga sendiri. Untuk itu, ia tidak tinggal di istana seperti sebelum berangkat ke tanah suci. Beliau meminta kepada sultan agar di berikan sebidang tanah yang akan di gunakan sebagai tempat tinggal,tempat pendidikan dan pusat pengembangan islam. Sultan Tamjidillah (1745-1778 H) yang berkuasa pada masa itu mengabulkan permintaannya. Al-banjari diberi sebidang tanah kosong berupa hutan belukar.
Tanah ini kemudian dijadikan sebuah perkampungan. Setelah itu, Al-Banjari membangun rumah, ruang pengajian, perpustakaan dan asrama para santri. Setelah itu, kampung baru ini ramai di kunjungi para santri dari berbagai pelosok daerah. Kampung ini hingga sekarang di kenal denga nama “Dalam Pagar”. Asal mula nama itu adalah larangan bagi para santri yang belajar dalam ruangan tertentu di kampung itu untuk meninggalkan lingkungan tersebut tanpa izin. Jika keluar mereka disebu keluar pagar.
Dalam perjalanan sejarah islam di Kalimantan Selatan, bentuk pendidikan yang dilakukan oleh Al-Banjari ini merupakan hal yang baru ketika itu, yaitu pendidikan islam berada dalam satu kompleks lengkap dengan musholla, tempat belajar, kiai, perpustakaan dan asrama untuk para santri. Di samping itu para santri tidak hanya di beri pelajaran agama, tetapi juga di beri keterampilan bertani agar bisa hidup mandiri.
Selain itu, Al-Banjari juga melakukan dakwah secara langsung di tengah masyarakat, baik kota maupun desa terpencil. Dakwah ini langsung diberi tanggapan yang positif dari masyarakat. Semangat keagamaan pun tumbuh subur di kalangan masyarakat sehingga tempat pengajian pun ramai di kunjungi orang. Atas anjuran beliau pula, kesultanan Banjar memberlakukan hukum islam, baik hukum perdata maupun hukum pidana. Untuk melaksanakan hukum tersebut, di bentuk Mahkamah Syariah di samping lembaga kekadian. Untuk memimpin Mahkamah Syariah ini ditunjuk seorang mufti. Mufti pertama yang diangkat adalah Syeikh Muhammad As’ad, cucu dari Muhammad Arsyad Al-Banjari. Adapum kadi yang pertama adalah Abu Zu’ud, anak Muhammad Arsyad Al-Banjari. Keduanya adalah sebagian ulama yang di didik oleh Al-Banjari dari dakwah pengajiannya.
Muhammad Arsyad Al-Banjari  aktif menulis hingga hari tua beliau. Hasil karya beliau yang terbesar adalah sebuah kitab yang berjudul Sabilul Muhtadin ( Jalan orang-orang yang mendapat petujuk). Kitab ini menjadikan buku pegangan dan bahan pelajaran di beberapa daerah di Indonesia,Malaysia, dan Thailand pada abad ke-19 dan awal abad ke-20




Seni budaya wayang oleh Sunan Kalijaga



Seni Budaya Wayang Oleh Sunan Kalijaga

Seni budaya wayang di Nusantara merupakan hasil karya seorang ulama yang terkenal, yaitu Sunan Kalijaga. Wayang dimanfaatkan sunan kalijaga sebagai sarana dakwah untuk menyebarkan agama islam di Nusantara, masyarakat Jawa Tengah khususnya, menganggap kesenian wayang tidak sekadar kesenian. Wayang mengandung nilai Filosofis, relegius dan pendidikan.
Dengan kesenian wayang, Sunan Kalijaga berhasil menarik perhatian masyarakat luas. Hal itu membuat mereka tertarik untuk masuk agama Islam dengan kesadatan dan kemauan sendiri. Sunan Kalijaga terkenal sebagai ulama yang kreatif dan pandai menarik simpati masyarakat. Beliau banyak menciptakan certa pewayangan yang bernapaskan islam. Misalnya cerita yang berjudul Jamus Kalimasada,Wahyu Tohjali, Wahyu Purboningrat dan Babat Alas Wonomarto.
Disamping menciptakan cerita-cerita kewayangan, Sunan Kalijaga juga berhasil menciptakan perlatan perlengkapan dalam wayang, kelengkapan yang menyertai pementasan wayang adalah seperangkat gamelan dan gending-gending Jawa.
Pada masa itu, setiap akan diadakan pentas wayang terlebih dahulu Sunan Kalijaga memberikan nasehat keislaman, kemudian mereka diajak mengucapkan dua kalimat syahadat. Dengan demikian berarti mereka sudah menyatakan diri masuk islam, lama kelamaan merekapun mau menjalankan shalat. Dengan cara demikikian Sunan Kalijaga dapat memikat hati masyarakat, sehingga islam cepat tersebar di masyarakat  Jawa, khususnya Jawa Tengah.
Di dalam peresmian mesjid di Demak, Sunan Kalijaga mengsulkan agar dibuka dengan pertunjukan wayang kulit yang pada masa itu bentuknya masih wayang beber yaitu gambar manusia yang beber pada sebuah kulit binatang.
Usul Sunan Kalijaga ditolak  oleh Sunan Giri karena wayang yang berbentuk manusia itu haram hukumnya dalam ajaran islam, demikian menurut Sunan Giri.
Jika Sunan Kalijaga mengusulkan peresmian masjid Demak itu dengan membuka pagelaran wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul boleh masuk  setelah mengucapkan syahadatain, maka Sunan Giri mengusulkan agar masjid Demak pada saat hari jum’at  yakni setelah melakukan shalat jum’at.
Sunan Kalijaga yang berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri, sebelumnya Sunan Kalijaga sudah merubah bentuk wayang kulit sehingga gambarnya tidak bisa disebut sebagai gambar manusia lagi, tetapi lebuh mirip dangan kalikatur seperti bentu wayang yang ada sekarang ini.
Sunan Kaljaga membawa wayang kulitnya itu di hadapan sidang para wali, karena tak bisa disebut sebagai gambar manusia, maka Sunan Giri menyetujui wayang kulit itu digunakan sebagai media dakwah.
 Perubahan wayang kulit itu di karenakan sanggahan dari Sunan Giri, karena itu sunan kalijaga member tanda khusus pada momentum penting itu, pemimpin para dewa dalam kewayangan oleh sunan kalijaga dianggap penting, pemimpin para dewa dalam kewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan sang Hiyang Girinata, yang berarti sunan Giri yang menata.
Maka perdebatan tentang masjid Demak dapat diatasi, peresmian itu di awali dengan sholat jum’at kemudian diteruskan dengan pertunjukkan wayang kulit yang dimainkan oleh ki dalang Sunan Kalijaga 




Masuknya Islam ke Nusantara



Masuknya Islam ke Nusantara ada dua cara yaitu :
a.    Pada abad ke 7 masehi dengan alasan
·        Berita cho ku fei
·        Berita dari Jepang
·        Catatan sejarah kebudayaan China
b.    Abad ke 13 masehi dengan  alasan
·        Berita ibnu Batutah
·        Berita dari Marco Polo
Pembawa Islam ke Nusantara :
a)   Para Mubdilah
b)   Kaum Shufi
c)    Pedagang
Cara masuknya islam ke Nusantara ada beberapa cara antara lain lewat:
·        Perdagangan
·        Perkawinan
·        Pendidikan
·        Kesenian
·        Ajaran Tasawuf

SEKATEN
Sekaten adalah upacara
Sekaten berasal dari kata syahadatain atau dua kalimat syahadat adalah pringatan ulang tahun Nabi Muhammad SAW yang diadakan pada tiap tanggal 5 bulan mulud (Rabiul Awal) di alun-alun Surakarta dan Yogyakarta.uacara ini dipakai oleh Sultan Hamengku Bowono 1 pendiri Keraton Yogyakarta untuk mengundang masyarakat mengikuti dan memeluk agama Islam.
Pada hari pertama upacara diawali saat malam hari dengan iring-iringan abdi dalem (punggawa keraton) bersama-sama dengan 2 set ga     melan Jawa : Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu. Iring-iringan ini bermula dari pendopo ponconiti menuju masjid Agung dialun alun utara dengan dikawal oleh prajurit Kraton, Kyai Nogowilogo akan menempati sisi utara dari masjid Agung , sementara Kyai Guntur madu akan berada di pagongan sebelah selatan mesjid. Kedua set gamelan ini dimainkan secara bersamaan samapai dengan tanggal 11 bulan mulud selama 7 hari berturut-turut. Pada malam terakhir, gamelan ini akan di bawa pulang kedalam Keraton