Tokoh-tokoh
penyebar agama islam di Indonesia
Tokoh-tokoh
penyebar agama islam di Indonesia sangat banyak, seperti: Muhammad Arsyad
Al-Banjari, abdur Rauf Singkel, Wali Songo, dan banyak lagi. disini saya akan menulis
tentang Muhammad Arsyad Al-Banjari
Muhammad
Arsyad Al-Banjari (Datuk Kalampayan)
seorang ulama besar yang sangat berpengaruh dan berperan penting di Kalimantan.
Beliau banyak menulis kitab agama yang menduduki jabatan mufti kesultanan
Banjar.
Beliau
lahir di Lok Gabang, Martapura,Kalimantan Selatan pada tahun 1710 M. beliau
putra tertua dari Abdullah dan Siti Aminah. Setelah wafat, beliau sering
dikenal dengan sebutan “Datuk Kalampayan”
Saat
usia beliau 7 tahun, Sultan Tahlilullah (1700-1745 M) meminta kepada orang tua
Al-Banjari agar mereka bersedia menyerahkannya untuk di didik di istana
sekaligus diangkat sebagai anak angkat sultan. Sultan tertarik karena
Al-Banjari cerdas dan terampil. Abdullah dan Aminah akhirnya menyerahkan
Al-Banjari kepada sultan dan tinggal di istana. Di istana tersebut Al-Banjari
menerima pendidikan dari guru-guru yang didatangkan sultan ke istana.
Pada
saat Al-Banjari berusia 30 tahun, sultan mengirimnya ke Mekkah untuk menuntut
ilmu dengan biaya kerajaan. Sebelum berangkat, Sultan menikahkannya dengan
seorang wanita bernama Bajut . hal itu di lakukan sultan agar Al-Banjari tetap
kembali ke Banjar setelah menyelesaikan pendidikannya di tanah suci. Beliau
menuntut ilmu di tanah suci selama kurang lebih 30 tahun dan
memperdalam berbagai cabang ilmu pengetahuan termasuk selain ilmu agama,
seperti geografi,biologi,matematika,geometri dan astronomi. Salah seorang guru
beliau yang terkenal adalah Syeikh Attailah. Atas izin gurunya, ia
diberi izin untuk mengajar dan memberi fatwa di Masjidil Haram. Kemudian, beliau
melanjutkan pelajaran di Madinah dengan Imam Haramain,Syeikh al-Islam Muhammad
bin Sulaiman al-Kurdi, dan syeikh Abdul Karim as-Samami al-Madani selama lima
tahun
Selama belajar da tanah suci, Al-Banjari
berteman akrab dengan Syeikh Abdussamad al-Palimbani dari Palembang, Abdul
Wahab Bugis (Sandaring Daeng Bunga Wardiyah) dari Makassar, dan Syeikh
Abdurrahman Masri dari Jakarta. Pada mulanya mereka bermaksud melanjutkan studi
ke Mesir. Akan tetapi, Syeikh al-Islam Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi
menasehati mereka agar kembali ke kampung halaman untuk membina umat. Imam
Haramain ini menganggap ilmu mereka sudah cukup dan tidak perlu belajar lagi di
Mesir. Di samping itu, tenaga mereka di butuhkan di daerah masing-masing.
Atas
nasehat tersebut, keempat sahabat ini krmbali ke Indonesia. Sebelum kembali ke
Kalimantan, Al-Banjari bersama Syeikh Abdul Wahab al-Masri tinggal di Jakarta
di tempat sahabatnya, Syeikh Abdurrahman Masri, selama beberapa bulan. Di sini,
Al-Banjari membetulkan arah kiblat beberapa Masjid, antara lain Masjid Jembatan
Lima, Masjid Luar Batang dan Masjid Pekojan. Di mihrab Masjid Jembatan Lima di
kecamatan Tambora, Jakarta Pusat terdapat catatan berbahasa Arab bahwa arah
Masjid itu di putar ke kanan sekitar 25 derajat oleh Al-Banjari pada 4 Safar 1186
H (7 Mei 1772 M).
Al-Banjari
tiba di Martapura pada bulan bulan Ramadhan 1186 H atau Desember 1772 M. sejak saat itu hingga beliau wafat (Kalampayan 6 Syawal 1227 H
/ 13 Oktober 1812 M) beliau mengabdikan diri membina masyarakat dan
mengembangkan islam. Dalam kegiatan ini, beliau di bantu oleh Syeikh Abdul
Wahab Bugis yang ketika itu sudah menjadi menantu beliau. Syeikh Abdul Wahab Bugis
dinikahkan Al-Banjari dengan putri beliau yang bernama Syarifah di Mekkah
tidak lama setelah Al-Banjari menerina surat dari Sultan Banjar bahwa istrinya
telah melahirkan anak dan sudah dewasa.
Langkah
pertama yang di ambil Al-Banjari setibanya di Martapura ialah membina kader
kader ulama, khususnya di lingkungan keluarga sendiri. Untuk itu, ia tidak
tinggal di istana seperti sebelum berangkat ke tanah suci. Beliau meminta
kepada sultan agar di berikan sebidang tanah yang akan di gunakan sebagai
tempat tinggal,tempat pendidikan dan pusat pengembangan islam. Sultan
Tamjidillah (1745-1778 H) yang berkuasa pada masa itu mengabulkan permintaannya.
Al-banjari diberi sebidang tanah kosong berupa hutan belukar.
Tanah
ini kemudian dijadikan sebuah perkampungan. Setelah itu, Al-Banjari membangun
rumah, ruang pengajian, perpustakaan dan asrama para santri. Setelah itu,
kampung baru ini ramai di kunjungi para santri dari berbagai pelosok daerah.
Kampung ini hingga sekarang di kenal denga nama “Dalam Pagar”. Asal mula nama
itu adalah larangan bagi para santri yang belajar dalam ruangan tertentu di
kampung itu untuk meninggalkan lingkungan tersebut tanpa izin. Jika keluar
mereka disebu keluar pagar.
Dalam
perjalanan sejarah islam di Kalimantan Selatan, bentuk pendidikan yang
dilakukan oleh Al-Banjari ini merupakan hal yang baru ketika itu, yaitu
pendidikan islam berada dalam satu kompleks lengkap dengan musholla, tempat
belajar, kiai, perpustakaan dan asrama untuk para santri. Di samping itu para
santri tidak hanya di beri pelajaran agama, tetapi juga di beri keterampilan
bertani agar bisa hidup mandiri.
Selain
itu, Al-Banjari juga melakukan dakwah secara langsung di tengah masyarakat,
baik kota maupun desa terpencil. Dakwah ini langsung diberi tanggapan yang
positif dari masyarakat. Semangat keagamaan pun tumbuh subur di kalangan
masyarakat sehingga tempat pengajian pun ramai di kunjungi orang. Atas anjuran
beliau pula, kesultanan Banjar memberlakukan hukum islam, baik hukum perdata
maupun hukum pidana. Untuk melaksanakan hukum tersebut, di bentuk Mahkamah
Syariah di samping lembaga kekadian. Untuk memimpin Mahkamah Syariah ini
ditunjuk seorang mufti. Mufti pertama yang diangkat adalah Syeikh Muhammad As’ad, cucu dari
Muhammad Arsyad Al-Banjari. Adapum kadi yang pertama adalah Abu
Zu’ud, anak Muhammad Arsyad Al-Banjari. Keduanya adalah sebagian ulama
yang di didik oleh Al-Banjari dari dakwah pengajiannya.
Muhammad
Arsyad Al-Banjari aktif menulis hingga
hari tua beliau. Hasil karya beliau yang terbesar adalah sebuah kitab yang
berjudul Sabilul Muhtadin ( Jalan orang-orang yang mendapat petujuk).
Kitab ini menjadikan buku pegangan dan bahan pelajaran di beberapa daerah di
Indonesia,Malaysia, dan Thailand pada abad ke-19 dan awal abad ke-20